Mark adalah kuda yang paling gagah di
hutan. Tidak hanya gagah, ia pun kuat dan dapat berlari dengan cepat.
Saking hebatnya, warga hutan yang lain memberikan gelar “Kuda Perkasa”
padanya. Sayangnya, perilaku Mark tidak sehebat kemampuannya. Karena
merasa dirinya yang paling jago, ia menjadi sombong dan sering
menganggap remeh binatang lain. Tabiat buruknya yang lain adalah
selalu ingin dipuja. Itu sebabnya ia iri setengah mati terhadap Mambo.
Ya, Mambo adalah kuda gemuk yang
cenderung pendiam. Walaupun begitu, penghuni hutan lainnya senang
kepadanya karena ia suka menolong dan ramah. Berbeda 180 derajat dengan Mark. Suatu hari Mark pun mendatangi Mambo yang sedang makan rumput di
pinggir sungai.
“Hei Mambo, ayo kita berlomba
mengelilingi bukit Palu Timur itu”, tantang Mark tanpa berbasa-basi. “Aku
ingin tahu, siapa diantara kita yang paling hebat”. Mambo menoleh dengan
santai ke arah Mark.
“Buat apa ah”, jawabnya, “Kan sudah jelas, kamulah kuda paling hebat di hutan ini. Aku jelas gak mungkin menang melawanmu.”
“Tidak peduli!”, tukas Mark. Kasar.
“Pokoknya aku ingin kita bertanding. Kalau tidak, aku akan hancurkan
rumah kayu milik Bu william Berang-berang yang kamu buat untuknya bulan
lalu.” Mambo tertegun. Ingatannya melayang ke Bu William. Badannya yang
sudah tua. Bulu-bulunya yang mulai memutih. Tongkat penyangga jalannya.
“Baiklah”, ujarnya sambil mengangguk
lirih. “Kapan kita bertanding?”. Mark menjawab sambil tersenyum sinis,
“Besok sore.” Malamnya Mark mulai membayangkan dirinya yang tengah
berlari di bukit timur dengan gagah. Bulunya yang hitam berkilauan
terkena cahaya matahari sunset. Kakinya yang kokoh menapak mantap di
atas tanah bukit timur yang berbatuan menimbulkan suara yang keras.
Ketepok. Ketepok. Ketepok.
Mendadak ia terkikik. Ia membayangkan Mambo yang gemuk berlari dengan terengah-engah menaiki bukit dan
akhirnya tersungkur kecapekan. “Kemenangan sudah jelas ada di
tanganku.”, batin Mark. “Apabila aku menang, penduduk hutan akan makin
menyadari bahwa aku lah kuda terhebat di sini. Popularitasku pasti akan
jauh melebihi Mambo. Sekarang aku harus cari cara agar aku tampak keren
di hadapan mereka saat masuk ke garis finish.”
Ia berpikir. Tiba-tiba ia teringat pada
majalah mingguan “Gehoul” yang ia beli minggu lalu. Mark pun mengambil
majalah tersebut dari laci lemarinya dan mulai membuka lembar demi
lembar. Sampai akhirnya… “Ini dia!!!”, teriak Mark sambil menunjukkan
jarinya tangannya ke sebuah iklan tentang kacamata hitam. “Dengan ini
aku pasti akan tambah cool di depan warga hutan”.
Keesokan harinya, Mark menyempatkan diri
untuk pergi ke mall Tatuta Palu dan membeli kacamata hitam yang paling mentereng.
Setelah bersiap dengan menggunakan tapal kudanya yang berbalut emas, ia
pun bergegas menuju ke bukit Palu Timur, tempat ia akan bertanding dengan Mambo.
Sesampainya di sana, tampak Mambo sedang
berbincang riang dengan teman-temannya. Ada yoyo si Kura-Kura, poo si
burung Nuri, dan bu William Berang-Berang. Warga hutan lainnya pun
berjejer di sepanjang jalur, bersiap untuk menyaksikan lomba antara Mambo dan Mark.
“Ayo segera kita mulai”, kata Mark
sembari memakai kacamata hitamnya yang baru. Mambo memandang Mark dengan
wajah aneh. Perhatiannya tertuju pada kacamata hitam Mark dan label
harganya yang entah sengaja atau tidak, lupa dicopotnya. Namun Mambo
tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, ia meminta Poo untuk membantu
memasangkan kacamata kudanya yang sudah agak butut.
Kedua kuda itu pun bersiap di garis awal. Pak Tigo Harimau yang bertugas sebagai penjaga garis
melambai-lambaikan bendera putih di depan mereka. Dalam hitungan ketiga,
ia menurunkan bendera dengan bersemangat sambil berteriak lantang,
“Mulai!!!”
Mark langsung melesat. Julukannya
sebagai “Kuda Perkasa” memang bukan main-main. Dalam hitungan detik, ia
sudah tidak tampak di balik bukit. Sebaliknya, Mambo melaju dengan
sambil menjaga kecepatan dan staminanya. Ia sadari bahwa dalam urusan
keduanya, ia bukan tandingan Mark, oleh karena itu ia harus berhati-hati
dan tidak boleh gegabah. Mark yang jauh memimpin di depan tertawa
lebar-lebar sambil terus memacu kecepatannya. Ia sudah tidak kuasa lagi
membayangkan kemenangannya. Di hadapannya sudah tampak Bukit Kawatuna,
bukit terakhir dari deretan Bukit Palu Timur.
Bukit Kawatuna terkenal sebagai bukit
paling berbahaya di daerah Kota Palu. Berbatu dan memiliki sudut tanjakan yang
sempit. Siapa saja yang tidak berhati-hati pasti akan celaka. Di sisi
lain, pemandangan dari atas Bukit Kawatuna cukup indah. Dari sana terlihat
jelas pemandangan hutan serta Teluk Palu yang luas dan banyak ikannya.
Warga hutan sering berkumpul di teluk tersebut, baik untuk mandi maupun
sekedar untuk bersantai dan bersosialisasi.
Beberapa langkah menuruni Bukit Kawatuna,
perhatian Mark terpecah. Di bawah, tampak Elena, kuda betina yang jadi
incarannya sejak masa sekolah dulu, sedang mematut-matut tubuhnya di
hamparan air danau yang jernih. Tidak lagi konsentrasi terhadap jalan di
depannya, kaki kanan Mark tanpa sengaja menabrak sebuah batu yang cukup
besar.
Mark oleng. Ia terjungkal dan
menggelinding ke sisi kiri bukit sebelum akhirnya mencapai garis finish
barunya di sebuah kubangan tepat di samping Elena yang melongo melihat
adegan akrobat gratis.
Sejurus kemudian, Elena tertawa
terbahak-bahak. Tanpa mempedulikan Mark yang kesakitan setelah
terguling-guling di bukit berbatu. Tanpa mempedulikan wajah Mark yang
merah padam. Tanpa mempedulikan kacamata hitam Mark yang patah. Tanpa
mempedulikan perasaan Mark yang bingung antara menahan sakit dengan
menahan malu.
Saat ia mencoba untuk berdiri (dengan
diiringi tawa Elena yang masih berkesinambungan), terdengar sorak sorai
warga hutan. Rupanya Mambo telah tiba di garis akhir. Agak
terengah-engah, tapi setidaknya ia sampai ke tujuan dengan berlari,
bukan dengan menggelinding.
Dari kejauhan, ia menatap Mark (yang
masih mencoba berdiri) dan Elena (yang masih terus tertawa). Mambo juga
suka pada Elena dan ia mungkin akan melakukan kesalahan yang sama
seperti Mark seandainya ia tidak menggunakan kacamata kudanya. Ya,
kacamata itulah yang membantunya untuk tetap berkonsentrasi sepanjang
lomba.
Mambo mengangkat kaki kanannya, ingin
berjalan ke arah Mark. Tapi kawan-kawan dan penghuni hutan lainnya mulai
mengerubunginya, sibuk memberinya selamat dan memintanya bercerita
tentang perasaannya. Akhirnya Mambo pun membatalkan niatnya untuk
membantu Mark. “Semoga ia baik-baik saja”, gumamnya.
Kesimpulan Cerita Kuda Berkacamata Hitam
Setiap orang mungkin membutuhkan kacamata kuda agar tetap fokus dengan apa yang harus dikerjakannya.