Minggu, 02 Juni 2013

KUDA BERKACAMATA HITAM

Mark adalah kuda yang paling gagah di hutan. Tidak hanya gagah, ia pun kuat dan dapat berlari dengan cepat. Saking hebatnya, warga hutan yang lain memberikan gelar “Kuda Perkasa” padanya. Sayangnya, perilaku Mark tidak sehebat kemampuannya. Karena merasa dirinya yang paling jago, ia menjadi sombong dan sering menganggap remeh binatang lain. Tabiat buruknya yang lain adalah selalu ingin dipuja. Itu sebabnya ia iri setengah mati terhadap Mambo.
Ya, Mambo adalah kuda gemuk yang cenderung pendiam. Walaupun begitu, penghuni hutan lainnya senang kepadanya karena ia suka menolong dan ramah. Berbeda 180 derajat dengan Mark. Suatu hari Mark pun mendatangi Mambo yang sedang makan rumput di pinggir sungai.
“Hei Mambo, ayo kita berlomba mengelilingi bukit Palu Timur itu”, tantang Mark tanpa berbasa-basi. “Aku ingin tahu, siapa diantara kita yang paling hebat”. Mambo menoleh dengan santai ke arah Mark.





“Buat apa ah”, jawabnya, “Kan sudah jelas, kamulah kuda paling hebat di hutan ini. Aku jelas gak mungkin menang melawanmu.”
“Tidak peduli!”, tukas Mark. Kasar. “Pokoknya aku ingin kita bertanding. Kalau tidak, aku akan hancurkan rumah kayu milik Bu william Berang-berang yang kamu buat untuknya bulan lalu.” Mambo tertegun. Ingatannya melayang ke Bu William. Badannya yang sudah tua. Bulu-bulunya yang mulai memutih. Tongkat penyangga jalannya.
“Baiklah”, ujarnya sambil mengangguk lirih. “Kapan kita bertanding?”. Mark menjawab sambil tersenyum sinis, “Besok sore.” Malamnya Mark mulai membayangkan dirinya yang tengah berlari di bukit timur dengan gagah. Bulunya yang hitam berkilauan terkena cahaya matahari sunset. Kakinya yang kokoh menapak mantap di atas tanah bukit timur yang berbatuan menimbulkan suara yang keras. Ketepok. Ketepok. Ketepok.
Mendadak ia terkikik. Ia membayangkan Mambo yang gemuk berlari dengan terengah-engah menaiki bukit dan akhirnya tersungkur kecapekan. “Kemenangan sudah jelas ada di tanganku.”, batin Mark. “Apabila aku menang, penduduk hutan akan makin menyadari bahwa aku lah kuda terhebat di sini. Popularitasku pasti akan jauh melebihi Mambo. Sekarang aku harus cari cara agar aku tampak keren di hadapan mereka saat masuk ke garis finish.”
Ia berpikir. Tiba-tiba ia teringat pada majalah mingguan “Gehoul” yang ia beli minggu lalu. Mark pun mengambil majalah tersebut dari laci lemarinya dan mulai membuka lembar demi lembar. Sampai akhirnya… “Ini dia!!!”, teriak Mark sambil menunjukkan jarinya tangannya ke sebuah iklan tentang kacamata hitam. “Dengan ini aku pasti akan tambah cool di depan warga hutan”.

Keesokan harinya, Mark menyempatkan diri untuk pergi ke mall Tatuta Palu dan membeli kacamata hitam yang paling mentereng. Setelah bersiap dengan menggunakan tapal kudanya yang berbalut emas, ia pun bergegas menuju ke bukit Palu Timur, tempat ia akan bertanding dengan Mambo.
Sesampainya di sana, tampak Mambo sedang berbincang riang dengan teman-temannya. Ada yoyo si Kura-Kura, poo si burung Nuri, dan bu William Berang-Berang. Warga hutan lainnya pun berjejer di sepanjang jalur, bersiap untuk menyaksikan lomba antara Mambo dan Mark.
“Ayo segera kita mulai”, kata Mark sembari memakai kacamata hitamnya yang baru. Mambo memandang Mark dengan wajah aneh. Perhatiannya tertuju pada kacamata hitam Mark dan label harganya yang entah sengaja atau tidak, lupa dicopotnya. Namun Mambo tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, ia meminta Poo untuk membantu memasangkan kacamata kudanya yang sudah agak butut.
Kedua kuda itu pun bersiap di garis awal. Pak Tigo Harimau yang bertugas sebagai penjaga garis melambai-lambaikan bendera putih di depan mereka. Dalam hitungan ketiga, ia menurunkan bendera dengan bersemangat sambil berteriak lantang, “Mulai!!!”
Mark langsung melesat. Julukannya sebagai “Kuda Perkasa” memang bukan main-main. Dalam hitungan detik, ia sudah tidak tampak di balik bukit. Sebaliknya, Mambo melaju dengan sambil menjaga kecepatan dan staminanya. Ia sadari bahwa dalam urusan keduanya, ia bukan tandingan Mark, oleh karena itu ia harus berhati-hati dan tidak boleh gegabah. Mark yang jauh memimpin di depan tertawa lebar-lebar sambil terus memacu kecepatannya. Ia sudah tidak kuasa lagi membayangkan kemenangannya. Di hadapannya sudah tampak Bukit Kawatuna, bukit terakhir dari deretan Bukit Palu Timur.
Bukit Kawatuna terkenal sebagai bukit paling berbahaya di daerah Kota Palu. Berbatu dan memiliki sudut tanjakan yang sempit. Siapa saja yang tidak berhati-hati pasti akan celaka. Di sisi lain, pemandangan dari atas Bukit Kawatuna cukup indah. Dari sana terlihat jelas pemandangan hutan serta Teluk Palu yang luas dan banyak ikannya. Warga hutan sering berkumpul di teluk tersebut, baik untuk mandi maupun sekedar untuk bersantai dan bersosialisasi.
Beberapa langkah menuruni Bukit Kawatuna, perhatian Mark terpecah. Di bawah, tampak Elena, kuda betina yang jadi incarannya sejak masa sekolah dulu, sedang mematut-matut tubuhnya di hamparan air danau yang jernih. Tidak lagi konsentrasi terhadap jalan di depannya, kaki kanan Mark tanpa sengaja menabrak sebuah batu yang cukup besar.
Mark oleng. Ia terjungkal dan menggelinding ke sisi kiri bukit sebelum akhirnya mencapai garis finish barunya di sebuah kubangan tepat di samping Elena yang melongo melihat adegan akrobat gratis.
Sejurus kemudian, Elena tertawa terbahak-bahak. Tanpa mempedulikan Mark yang kesakitan setelah terguling-guling di bukit berbatu. Tanpa mempedulikan wajah Mark yang merah padam. Tanpa mempedulikan kacamata hitam Mark yang patah. Tanpa mempedulikan perasaan Mark yang bingung antara menahan sakit dengan menahan malu.
Saat ia mencoba untuk berdiri (dengan diiringi tawa Elena yang masih berkesinambungan), terdengar sorak sorai warga hutan. Rupanya Mambo telah tiba di garis akhir. Agak terengah-engah, tapi setidaknya ia sampai ke tujuan dengan berlari, bukan dengan menggelinding.
Dari kejauhan, ia menatap Mark (yang masih mencoba berdiri) dan Elena (yang masih terus tertawa). Mambo juga suka pada Elena dan ia mungkin akan melakukan kesalahan yang sama seperti Mark seandainya ia tidak menggunakan kacamata kudanya. Ya, kacamata itulah yang membantunya untuk tetap berkonsentrasi sepanjang lomba.
Mambo mengangkat kaki kanannya, ingin berjalan ke arah Mark. Tapi kawan-kawan dan penghuni hutan lainnya mulai mengerubunginya, sibuk memberinya selamat dan memintanya bercerita tentang perasaannya. Akhirnya Mambo pun membatalkan niatnya untuk membantu Mark. “Semoga ia baik-baik saja”, gumamnya.

Kesimpulan Cerita Kuda Berkacamata Hitam

Setiap orang mungkin membutuhkan kacamata kuda agar tetap fokus dengan apa yang harus dikerjakannya.

SANG KUDA



Sekali dalam seminggu aku tampak menatapi tingkah seekor kuda yang berlari-lari tak jauh dari hadapanku. Sang kuda begitu ceria. Sesekali, kuda menggoyangkan kepalanya seperti sedang berdendang riang. Aku pun mengubah wajah cemberutku dengan bersuara ke arah kuda.  

“Kamu begitu bahagia, kuda?”, tanyaku dengan nada suara kecil. Padahal, mana mungkin seekor kuda dapat menjawab apa yang aku pertanyakan. Aku berpikir, sang kuda harus selalu bekerja untuk membantu pemiliknya dalam mencari nafkah, tapi sang kuda tidak pernah meggambarkan kelelahan yang sang kuda alami. Kota Palu sendiri merupakan kota yang terdapat di provinsi Sulawesi yang merupakan ibu kota dari Sulawesi Tengah yang masyarakatnya masih banyak bergantung pada sang kuda mulai dari menggunakannya sebagai kendaraan tradisional "Dokar", mengangkut hasil sawah, untuk di konsumsi dan lain - lain. Hampir setiap hari minggu di saat waktu libur aku sering melihat sang kuda selalu bermain ditepian pantai gawalise (salah satu pantai wisata yang terdapat di kota palu) berlari dan berkumpul bersama kuda-kuda lainnya, sambil mengeluarkan suara atau hanya berdiam sambil menikmati sejuknya lautan Teluk Palu di saat terbenamnya matahari dan aku kembali bertanya pada diriku sendiri "apakah hari ini (Minggu) adalah hari dimana sang kuda beristirahat ?". Terkadang aku berpikir dan bertanya pada diriku sendiri apakah sang kuda tidak pernah merasakan arti dari sebuah kelelahan atau mungkin tidak dapat menggambarkan apa yang sedang sang kuda rasakan. Mungkin, sang kuda sudah melupakan kelelahannya karena telah berkumpul dan beristirahat bersama kawanan kuda lainnya.


Dari situlah, sikap yang muncul yang dapat aku gambarkan saat ini seperti yang diungkapkan sang kuda, "Aku merasa bahagia karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Bukan, apa yang bisa kudapatkan dan aku rasakan". Dari pengalaman itulah aku selalu berusaha untuk menggali makna dari sesuatu hal kecil atau mungkin sesuatu hal besar yang sedang terjadi disekitarku.