Selasa, 16 Juli 2013

CERPEN RAMADHAN #ProyekMenulis



KEJUTAN DI BULAN PENUH RAHMAT


“Alhamdulillah, sedikit lagi. Aku harus bisa pulang tahun ini!” Tekad Angga menyemangati dirinya sambil menghitung uang tabungannya yang ia simpan di lembaran-lembaran buku miliknya. Memang sudah tiga kali lebaran ini Angga tidak pulang kampung. Ia tidak mempunyai ongkos yang cukup untuk pulang ke kampung halamannya. Uang yang ia kumpulkan dari pekerjaannya sebagai penjual buah-buahan keliling hanya cukup untuk mengirimi uang untuk keperluan Ramadhan untuk istri dan dua orang anaknya.
Angga seorang perantau asal Jawa Tengah, ia mengadu nasibnya di Jakarta untuk penghidupan yang lebih baik dengan menjadi seorang pedagang buah-buahan keliling. Ia sangat bersahaja dan merupakan hamba ALLAH yang tak kenal lelah dalam segala hal. Termasuk tak kenal lelah dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Ia seorang yang bertanggung jawab atas keluarganya. Walaupun istri dan anak-anaknya tinggal di kampung. Namun Angga tidak pernah putus mengirimi uang hasil keringat yang ia peroleh untuk biaya hidup istri dan kedua anaknya setiap bulan. Angga tinggal di sepetak kontrakkan yang berada dekat rel kereta. Kontrakkan itu hanya cukup untuk tidur dan menaruh baju-baju serta bahan makanan yang ia perlukan.
Seperti di bulan Ramadhan sebelumnya, selepas santap sahur Angga mempersiapkan peralatan dan perlengkapan jualannya termasuk buah-buahan yang akan ia jajakan. Tak hanya itu, sepeda ontelnya pun ia bersihkan dan ia memompa sedikit bannya agar lebih ringan saat dikayuh nanti. Selepas shalat shubuh, Angga bergegas dengan semangat, berangkat menuju stasiun jatinegara. Karena ia mendapat jatah berjualan di sana saat pagi hari. Angga terus mengayuh sepedanya menuju stasiun melewati persimpangan lampu merah. Dari arah yang berlawanan, melaju dengan cukup cepat sepeda motor berwarna merah. Lampu hijau menyala. Angga pun kembali mengayuh sepedanya menuju stasiun. Lampu merah telah menyala di jalur dimana sepeda motor itu melintas. Namun motor itu tidak menggubris lampu merah yang telah menyala malah terus menerabas dengan kecepatan tinggi.
“Braaaaaaaaak!” Suara yang sangat keras terdengar.
Seseorang terserempet sepeda motor yang melaju kencang. Sementara yang menyerempetnya berlalu dengan cepat mengendarai sepeda motornya.
“Toloong, toloong…” Sebuah rintihan serak terdengar beberapa saat setelah motor itu melesat dengan cepat.
Di tempat kejadian itu berserakan buah-buahan yang hampir semuanya telah hancur. Selain itu keranjang rotan telah menjauh dari jok motor yang menjadi sanggahannya semula. Ya, orang itu adalah Angga. Kakinya terjepit salah satu keranjang rotan yang masih berisi setengah buah-buahan dagangannya. Ia terus mencoba berteriak untuk meminta pertolongan. Berharap ada orang yang mau menolongnya. Tapi sialnya sepagi itu belum banyak orang yang melintasi jalan tersebut. Ia tergeletak dengan kaki terjepit di aspal basah karena tetesan embun yang membahasi jalan itu. Sambil memegangi kakinya yang terluka Angga mencoba bangkit. Namun, ia selalu terjatuh lagi saat mencoba bangkit.
“Tolong…, toloooong” Ia mencoba teriak dengan suaranya yang nyaris hilang.
Tak seberapa jauh dari tempat Angga terkapar. Seorang laki-laki berlari menghampirinya. Terlihat raut wajah Angga yang menunjukkan sedikit senang karena ada orang yang mendengar teriakan minta tolongnya.Setelah sampai, lelaki itu memegang stang sepeda Angga dan mengangkatnya. Namun, setelah dia mengangkat sepedanya bahu Angga dipegangnya dan dengan mengejutkan ia mendorong bahu Angga hingga Angga makin terjerembab ke aspal. Setelah melihat Angga tersungkur di aspal. Laki-laki itu pergi dengan mengayuh sepeda Angga. Pergi menjauh dari Angga.
“Astagfirullah!” Angga beristighfar dengan suara serak.
Angga sangat tidak menyangka bahwa orang yang semula ia sangka akan menolongnya. Malahan, orang itu mencuri sepedanya. Kini Angga merasakan badannya lebih sakit karena tersungkur dengan ke aspal karena dorongan keras si pencuri itu. Jangankan untuk berdiri, untuk mengangkat kepalanya saja dari aspal Angga tidak mampu. Yang ia harapkan hanyalah ada seseorang yang datang menghampiri dengan hati tulus untuk menolong dirinya. Bukan untuk mencuri sepeda atau sikap apapun yang dapat merugikannya. Tiba-tiba terlihat lampu motor yang menyala terang dari arah belakang  Angga. Terlihat oleh Angga, dua orang polisi menghampiri Angga dengan terkejut.
“Bapak kenapa?” Tanya salah seorang polisi itu sambil memegang kedua tangan Udin dan mencoba membangunkannya.
“Saya kecelakaan.” Dengan suara pelan dan setengah serak Angga menjawab pertanyaan polisi.
Angga berhasil bangun dan berdiri. Ia dibopong oleh kedua polisi menuju trotoar. Angga didudukan tepat di trotoar samping lampu merah. Sambil meringis kesakitan ia memegangi kakinya yang terluka. Polisi itu mulai menanyakan perihal kejadian yang telah menimpa Angga. Ia menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan oleh polisi tersebut dengan mengeluarkan suara pelan dan serak. Termasuk kejadian pencurian sepedanya.
“Allahu akbar…. Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilahaillahu Allahu Akbar…. Allahu akbar wa lillahilham…” Gema takbir menggema membesarkan namaNya. Meng-agungkan namaNya yang maha agung. Serta mengesakanNya yang maha tunggal.
Setelah sebulan penuh menunaikan perintah puasa Ramadhan. Datanglah sebuah hari yang sangat dinantikan. Sebuah hari yang mengembalikan manusia kepada fitrohnya. Semua hambaNya bersuka cita dan berbahagia menyambut hari nan fitri yang datang esok. Ya, semua larut dalam kegembiraan menyambut Idul Fitri. Kecuali Angga. Kini ia hanya duduk termenung di atas kasur lipatnya yang ia letakkan di atas ubin kontrakkanya. Walau tidak deras, air mata menetes dari matanya. Membasahi tangannya yang ia pakai untuk menopang wajah tirusnya.
“Maafkan Bapak, Nak!” Sambil mengusap air matanya, Angga terbekap dalam kesedihan yang dalam.
Gema takbir membawanya kedalam bayang kebahagiaan. Ia dapat melihat tawa kedua anaknya yang menyambut kedatangannya. Ia memeluk keduanya dengan penuh rasa sayang yang tertimbun selama tiga tahun ini. Istrinya yang ada di belakang kedua anaknya pun juga memeluknya erat.
“Assalamu’alaikum, Ngga” Salam itu membawa Angga kembali ke dunia nyata.
“Waalaikumsalam…” Angga menjawab salam.
Angga bangun untuk membuka pintu dan bergegas mengusap air matanya. Ia khawatir kalau-kalau orang tahu bahwa ia sedang menangis.
“Jadi nitip uang buat ke kampung, Ngga?” Tanya Iwan sambil memasuki rumah kontrakkan Angga.
“Jadi Wan. iki wis ta siapin.” Angga menimpali pertanyaan Iwan dengan logat jawanya.
“Titip pesen karo istriku ya Wan. Aku ra isa mulih disek tahun iki.” Pesan Angga sambil memberikan dua buah amplop yang isinya berisi surat dan uang untuk dititipkan kepada istrinya di kampung.
“Iya pasti ta sampaikan, Ngga. Wis tenang bae lah!” Jawab Iwan, menenangkan temannya. Iwan berpamitan dan kemudian pergi berlalu menuju terminal.
Tahun ini harapan Angga belum bisa terwujud. Uang yang rencananya dipakai untuk ongkos perjalanannya ke kampung pulang-pergi telah terpakai untuk biaya pengobatannya akibat kecelakaan yang dialaminya beberapa waktu lalu. Ditambah setelah kecelakaan itu ia harus memeriksakan dirinya secara rutin ke puskesmas dan beristirahat selama satu minggu untuk tidak berjualan. Praktis selama seminggu Angga tidak mendapatkan penghasilan. Malah uang simpanannya yang ia simpan di lembaran buku terpakai untuk biaya periksa rutinnya. Akan tetapi, Angga tetap merasa bersyukur bahwa ia masih bisa mengirimkan uang untuk istri dan anak-anaknya di kampung. Ia juga tetap berhusnudzan kepada ALLAH atas musibah yang dihadapinya. Dan berpikir pasti ada hikmah dibalik musibah ini.
Bulan suci ramdhan pun akan segera tiba. Tapi Angga belum juga dapat kembali ke kampung halamannya Angga hanya mampu untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini dengan beristirahat di rumah kontrakannya. Angga kembali membayangkan senyum istri dan anak-anaknya di kampung. Ia merasa senang bisa melihat senyum dan tawa istri serta kedua anaknya jika bisa bersama di bulan yang suci ini. Tanpa disadarinya Angga pun tertidur pulas.
“Tok.. tok.. tok..” Pintu rumah kontrakkan Angga di ketuk.
Angga terbangun mendengar bunyi ketukan itu. Ia berdiri perlahan menuju pintu untuk membukanya. Matanya masih layu. Tak heran karena ia telah tidur selama 4 jam lebih. Bayang-bayang tentang keceriaan istri dan kedua anaknya-lah yang menjadikan ia bisa terlelap selama itu dalam kondisi tubuh yang lapar. Deritan pintu terdengar saat Angga membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia pada saat pintu terbuka sedikit demi sedikit, ia melihat bayangan istri dan kedua anaknya di depan pintu. Ia mengucek-ngucek kedua matanya. Khawatir ia sedang bermimpi.
“Assalamualaikum, Bapaaaaak!” Teriak anak sulungnya sambil memeluk kedua kakinya. Hal itu meyakinkan Angga bahwa kejadian ini bukan hanya sebatas mimpi saja. Karena ia bisa merasakan agak sakit di kaki bekas kecelakaan saat anak sulungya mendekap erat kakinya.
“Bagaimana kalian bisa sampai ke Jakarta?” Tanya Angga penuh keheranan.
“Dari setiap uang bulanan yang Bapak kirimkan ke kampung, sebagian oleh Ibu disisihkan untuk ongkos ke Jakarta, Pak. Ibu ingin memberikan kejutan untuk Bapak.” Anak sulungnya menjawab pertanyaannya tanpa ragu. Angga berlutut dan menciumi kedua anaknya dengan penuh rasa haru. Istri Angga pun memeluknya sambil meneteskan air mata.
“Allahu akbar…! Terima kasih yaa ALLAH, engkau telah menjawab doa-doa ku. Dan terima kasih juga untuk Kejutan di bulan yang penuh rahmat ini.”