Selasa, 16 Juli 2013

CERPEN RAMADHAN #ProyekMenulis



KEJUTAN DI BULAN PENUH RAHMAT


“Alhamdulillah, sedikit lagi. Aku harus bisa pulang tahun ini!” Tekad Angga menyemangati dirinya sambil menghitung uang tabungannya yang ia simpan di lembaran-lembaran buku miliknya. Memang sudah tiga kali lebaran ini Angga tidak pulang kampung. Ia tidak mempunyai ongkos yang cukup untuk pulang ke kampung halamannya. Uang yang ia kumpulkan dari pekerjaannya sebagai penjual buah-buahan keliling hanya cukup untuk mengirimi uang untuk keperluan Ramadhan untuk istri dan dua orang anaknya.
Angga seorang perantau asal Jawa Tengah, ia mengadu nasibnya di Jakarta untuk penghidupan yang lebih baik dengan menjadi seorang pedagang buah-buahan keliling. Ia sangat bersahaja dan merupakan hamba ALLAH yang tak kenal lelah dalam segala hal. Termasuk tak kenal lelah dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Ia seorang yang bertanggung jawab atas keluarganya. Walaupun istri dan anak-anaknya tinggal di kampung. Namun Angga tidak pernah putus mengirimi uang hasil keringat yang ia peroleh untuk biaya hidup istri dan kedua anaknya setiap bulan. Angga tinggal di sepetak kontrakkan yang berada dekat rel kereta. Kontrakkan itu hanya cukup untuk tidur dan menaruh baju-baju serta bahan makanan yang ia perlukan.
Seperti di bulan Ramadhan sebelumnya, selepas santap sahur Angga mempersiapkan peralatan dan perlengkapan jualannya termasuk buah-buahan yang akan ia jajakan. Tak hanya itu, sepeda ontelnya pun ia bersihkan dan ia memompa sedikit bannya agar lebih ringan saat dikayuh nanti. Selepas shalat shubuh, Angga bergegas dengan semangat, berangkat menuju stasiun jatinegara. Karena ia mendapat jatah berjualan di sana saat pagi hari. Angga terus mengayuh sepedanya menuju stasiun melewati persimpangan lampu merah. Dari arah yang berlawanan, melaju dengan cukup cepat sepeda motor berwarna merah. Lampu hijau menyala. Angga pun kembali mengayuh sepedanya menuju stasiun. Lampu merah telah menyala di jalur dimana sepeda motor itu melintas. Namun motor itu tidak menggubris lampu merah yang telah menyala malah terus menerabas dengan kecepatan tinggi.
“Braaaaaaaaak!” Suara yang sangat keras terdengar.
Seseorang terserempet sepeda motor yang melaju kencang. Sementara yang menyerempetnya berlalu dengan cepat mengendarai sepeda motornya.
“Toloong, toloong…” Sebuah rintihan serak terdengar beberapa saat setelah motor itu melesat dengan cepat.
Di tempat kejadian itu berserakan buah-buahan yang hampir semuanya telah hancur. Selain itu keranjang rotan telah menjauh dari jok motor yang menjadi sanggahannya semula. Ya, orang itu adalah Angga. Kakinya terjepit salah satu keranjang rotan yang masih berisi setengah buah-buahan dagangannya. Ia terus mencoba berteriak untuk meminta pertolongan. Berharap ada orang yang mau menolongnya. Tapi sialnya sepagi itu belum banyak orang yang melintasi jalan tersebut. Ia tergeletak dengan kaki terjepit di aspal basah karena tetesan embun yang membahasi jalan itu. Sambil memegangi kakinya yang terluka Angga mencoba bangkit. Namun, ia selalu terjatuh lagi saat mencoba bangkit.
“Tolong…, toloooong” Ia mencoba teriak dengan suaranya yang nyaris hilang.
Tak seberapa jauh dari tempat Angga terkapar. Seorang laki-laki berlari menghampirinya. Terlihat raut wajah Angga yang menunjukkan sedikit senang karena ada orang yang mendengar teriakan minta tolongnya.Setelah sampai, lelaki itu memegang stang sepeda Angga dan mengangkatnya. Namun, setelah dia mengangkat sepedanya bahu Angga dipegangnya dan dengan mengejutkan ia mendorong bahu Angga hingga Angga makin terjerembab ke aspal. Setelah melihat Angga tersungkur di aspal. Laki-laki itu pergi dengan mengayuh sepeda Angga. Pergi menjauh dari Angga.
“Astagfirullah!” Angga beristighfar dengan suara serak.
Angga sangat tidak menyangka bahwa orang yang semula ia sangka akan menolongnya. Malahan, orang itu mencuri sepedanya. Kini Angga merasakan badannya lebih sakit karena tersungkur dengan ke aspal karena dorongan keras si pencuri itu. Jangankan untuk berdiri, untuk mengangkat kepalanya saja dari aspal Angga tidak mampu. Yang ia harapkan hanyalah ada seseorang yang datang menghampiri dengan hati tulus untuk menolong dirinya. Bukan untuk mencuri sepeda atau sikap apapun yang dapat merugikannya. Tiba-tiba terlihat lampu motor yang menyala terang dari arah belakang  Angga. Terlihat oleh Angga, dua orang polisi menghampiri Angga dengan terkejut.
“Bapak kenapa?” Tanya salah seorang polisi itu sambil memegang kedua tangan Udin dan mencoba membangunkannya.
“Saya kecelakaan.” Dengan suara pelan dan setengah serak Angga menjawab pertanyaan polisi.
Angga berhasil bangun dan berdiri. Ia dibopong oleh kedua polisi menuju trotoar. Angga didudukan tepat di trotoar samping lampu merah. Sambil meringis kesakitan ia memegangi kakinya yang terluka. Polisi itu mulai menanyakan perihal kejadian yang telah menimpa Angga. Ia menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan oleh polisi tersebut dengan mengeluarkan suara pelan dan serak. Termasuk kejadian pencurian sepedanya.
“Allahu akbar…. Allahu akbar… Allahu akbar… Laa ilahaillahu Allahu Akbar…. Allahu akbar wa lillahilham…” Gema takbir menggema membesarkan namaNya. Meng-agungkan namaNya yang maha agung. Serta mengesakanNya yang maha tunggal.
Setelah sebulan penuh menunaikan perintah puasa Ramadhan. Datanglah sebuah hari yang sangat dinantikan. Sebuah hari yang mengembalikan manusia kepada fitrohnya. Semua hambaNya bersuka cita dan berbahagia menyambut hari nan fitri yang datang esok. Ya, semua larut dalam kegembiraan menyambut Idul Fitri. Kecuali Angga. Kini ia hanya duduk termenung di atas kasur lipatnya yang ia letakkan di atas ubin kontrakkanya. Walau tidak deras, air mata menetes dari matanya. Membasahi tangannya yang ia pakai untuk menopang wajah tirusnya.
“Maafkan Bapak, Nak!” Sambil mengusap air matanya, Angga terbekap dalam kesedihan yang dalam.
Gema takbir membawanya kedalam bayang kebahagiaan. Ia dapat melihat tawa kedua anaknya yang menyambut kedatangannya. Ia memeluk keduanya dengan penuh rasa sayang yang tertimbun selama tiga tahun ini. Istrinya yang ada di belakang kedua anaknya pun juga memeluknya erat.
“Assalamu’alaikum, Ngga” Salam itu membawa Angga kembali ke dunia nyata.
“Waalaikumsalam…” Angga menjawab salam.
Angga bangun untuk membuka pintu dan bergegas mengusap air matanya. Ia khawatir kalau-kalau orang tahu bahwa ia sedang menangis.
“Jadi nitip uang buat ke kampung, Ngga?” Tanya Iwan sambil memasuki rumah kontrakkan Angga.
“Jadi Wan. iki wis ta siapin.” Angga menimpali pertanyaan Iwan dengan logat jawanya.
“Titip pesen karo istriku ya Wan. Aku ra isa mulih disek tahun iki.” Pesan Angga sambil memberikan dua buah amplop yang isinya berisi surat dan uang untuk dititipkan kepada istrinya di kampung.
“Iya pasti ta sampaikan, Ngga. Wis tenang bae lah!” Jawab Iwan, menenangkan temannya. Iwan berpamitan dan kemudian pergi berlalu menuju terminal.
Tahun ini harapan Angga belum bisa terwujud. Uang yang rencananya dipakai untuk ongkos perjalanannya ke kampung pulang-pergi telah terpakai untuk biaya pengobatannya akibat kecelakaan yang dialaminya beberapa waktu lalu. Ditambah setelah kecelakaan itu ia harus memeriksakan dirinya secara rutin ke puskesmas dan beristirahat selama satu minggu untuk tidak berjualan. Praktis selama seminggu Angga tidak mendapatkan penghasilan. Malah uang simpanannya yang ia simpan di lembaran buku terpakai untuk biaya periksa rutinnya. Akan tetapi, Angga tetap merasa bersyukur bahwa ia masih bisa mengirimkan uang untuk istri dan anak-anaknya di kampung. Ia juga tetap berhusnudzan kepada ALLAH atas musibah yang dihadapinya. Dan berpikir pasti ada hikmah dibalik musibah ini.
Bulan suci ramdhan pun akan segera tiba. Tapi Angga belum juga dapat kembali ke kampung halamannya Angga hanya mampu untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini dengan beristirahat di rumah kontrakannya. Angga kembali membayangkan senyum istri dan anak-anaknya di kampung. Ia merasa senang bisa melihat senyum dan tawa istri serta kedua anaknya jika bisa bersama di bulan yang suci ini. Tanpa disadarinya Angga pun tertidur pulas.
“Tok.. tok.. tok..” Pintu rumah kontrakkan Angga di ketuk.
Angga terbangun mendengar bunyi ketukan itu. Ia berdiri perlahan menuju pintu untuk membukanya. Matanya masih layu. Tak heran karena ia telah tidur selama 4 jam lebih. Bayang-bayang tentang keceriaan istri dan kedua anaknya-lah yang menjadikan ia bisa terlelap selama itu dalam kondisi tubuh yang lapar. Deritan pintu terdengar saat Angga membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia pada saat pintu terbuka sedikit demi sedikit, ia melihat bayangan istri dan kedua anaknya di depan pintu. Ia mengucek-ngucek kedua matanya. Khawatir ia sedang bermimpi.
“Assalamualaikum, Bapaaaaak!” Teriak anak sulungnya sambil memeluk kedua kakinya. Hal itu meyakinkan Angga bahwa kejadian ini bukan hanya sebatas mimpi saja. Karena ia bisa merasakan agak sakit di kaki bekas kecelakaan saat anak sulungya mendekap erat kakinya.
“Bagaimana kalian bisa sampai ke Jakarta?” Tanya Angga penuh keheranan.
“Dari setiap uang bulanan yang Bapak kirimkan ke kampung, sebagian oleh Ibu disisihkan untuk ongkos ke Jakarta, Pak. Ibu ingin memberikan kejutan untuk Bapak.” Anak sulungnya menjawab pertanyaannya tanpa ragu. Angga berlutut dan menciumi kedua anaknya dengan penuh rasa haru. Istri Angga pun memeluknya sambil meneteskan air mata.
“Allahu akbar…! Terima kasih yaa ALLAH, engkau telah menjawab doa-doa ku. Dan terima kasih juga untuk Kejutan di bulan yang penuh rahmat ini.”

Minggu, 02 Juni 2013

KUDA BERKACAMATA HITAM

Mark adalah kuda yang paling gagah di hutan. Tidak hanya gagah, ia pun kuat dan dapat berlari dengan cepat. Saking hebatnya, warga hutan yang lain memberikan gelar “Kuda Perkasa” padanya. Sayangnya, perilaku Mark tidak sehebat kemampuannya. Karena merasa dirinya yang paling jago, ia menjadi sombong dan sering menganggap remeh binatang lain. Tabiat buruknya yang lain adalah selalu ingin dipuja. Itu sebabnya ia iri setengah mati terhadap Mambo.
Ya, Mambo adalah kuda gemuk yang cenderung pendiam. Walaupun begitu, penghuni hutan lainnya senang kepadanya karena ia suka menolong dan ramah. Berbeda 180 derajat dengan Mark. Suatu hari Mark pun mendatangi Mambo yang sedang makan rumput di pinggir sungai.
“Hei Mambo, ayo kita berlomba mengelilingi bukit Palu Timur itu”, tantang Mark tanpa berbasa-basi. “Aku ingin tahu, siapa diantara kita yang paling hebat”. Mambo menoleh dengan santai ke arah Mark.





“Buat apa ah”, jawabnya, “Kan sudah jelas, kamulah kuda paling hebat di hutan ini. Aku jelas gak mungkin menang melawanmu.”
“Tidak peduli!”, tukas Mark. Kasar. “Pokoknya aku ingin kita bertanding. Kalau tidak, aku akan hancurkan rumah kayu milik Bu william Berang-berang yang kamu buat untuknya bulan lalu.” Mambo tertegun. Ingatannya melayang ke Bu William. Badannya yang sudah tua. Bulu-bulunya yang mulai memutih. Tongkat penyangga jalannya.
“Baiklah”, ujarnya sambil mengangguk lirih. “Kapan kita bertanding?”. Mark menjawab sambil tersenyum sinis, “Besok sore.” Malamnya Mark mulai membayangkan dirinya yang tengah berlari di bukit timur dengan gagah. Bulunya yang hitam berkilauan terkena cahaya matahari sunset. Kakinya yang kokoh menapak mantap di atas tanah bukit timur yang berbatuan menimbulkan suara yang keras. Ketepok. Ketepok. Ketepok.
Mendadak ia terkikik. Ia membayangkan Mambo yang gemuk berlari dengan terengah-engah menaiki bukit dan akhirnya tersungkur kecapekan. “Kemenangan sudah jelas ada di tanganku.”, batin Mark. “Apabila aku menang, penduduk hutan akan makin menyadari bahwa aku lah kuda terhebat di sini. Popularitasku pasti akan jauh melebihi Mambo. Sekarang aku harus cari cara agar aku tampak keren di hadapan mereka saat masuk ke garis finish.”
Ia berpikir. Tiba-tiba ia teringat pada majalah mingguan “Gehoul” yang ia beli minggu lalu. Mark pun mengambil majalah tersebut dari laci lemarinya dan mulai membuka lembar demi lembar. Sampai akhirnya… “Ini dia!!!”, teriak Mark sambil menunjukkan jarinya tangannya ke sebuah iklan tentang kacamata hitam. “Dengan ini aku pasti akan tambah cool di depan warga hutan”.

Keesokan harinya, Mark menyempatkan diri untuk pergi ke mall Tatuta Palu dan membeli kacamata hitam yang paling mentereng. Setelah bersiap dengan menggunakan tapal kudanya yang berbalut emas, ia pun bergegas menuju ke bukit Palu Timur, tempat ia akan bertanding dengan Mambo.
Sesampainya di sana, tampak Mambo sedang berbincang riang dengan teman-temannya. Ada yoyo si Kura-Kura, poo si burung Nuri, dan bu William Berang-Berang. Warga hutan lainnya pun berjejer di sepanjang jalur, bersiap untuk menyaksikan lomba antara Mambo dan Mark.
“Ayo segera kita mulai”, kata Mark sembari memakai kacamata hitamnya yang baru. Mambo memandang Mark dengan wajah aneh. Perhatiannya tertuju pada kacamata hitam Mark dan label harganya yang entah sengaja atau tidak, lupa dicopotnya. Namun Mambo tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, ia meminta Poo untuk membantu memasangkan kacamata kudanya yang sudah agak butut.
Kedua kuda itu pun bersiap di garis awal. Pak Tigo Harimau yang bertugas sebagai penjaga garis melambai-lambaikan bendera putih di depan mereka. Dalam hitungan ketiga, ia menurunkan bendera dengan bersemangat sambil berteriak lantang, “Mulai!!!”
Mark langsung melesat. Julukannya sebagai “Kuda Perkasa” memang bukan main-main. Dalam hitungan detik, ia sudah tidak tampak di balik bukit. Sebaliknya, Mambo melaju dengan sambil menjaga kecepatan dan staminanya. Ia sadari bahwa dalam urusan keduanya, ia bukan tandingan Mark, oleh karena itu ia harus berhati-hati dan tidak boleh gegabah. Mark yang jauh memimpin di depan tertawa lebar-lebar sambil terus memacu kecepatannya. Ia sudah tidak kuasa lagi membayangkan kemenangannya. Di hadapannya sudah tampak Bukit Kawatuna, bukit terakhir dari deretan Bukit Palu Timur.
Bukit Kawatuna terkenal sebagai bukit paling berbahaya di daerah Kota Palu. Berbatu dan memiliki sudut tanjakan yang sempit. Siapa saja yang tidak berhati-hati pasti akan celaka. Di sisi lain, pemandangan dari atas Bukit Kawatuna cukup indah. Dari sana terlihat jelas pemandangan hutan serta Teluk Palu yang luas dan banyak ikannya. Warga hutan sering berkumpul di teluk tersebut, baik untuk mandi maupun sekedar untuk bersantai dan bersosialisasi.
Beberapa langkah menuruni Bukit Kawatuna, perhatian Mark terpecah. Di bawah, tampak Elena, kuda betina yang jadi incarannya sejak masa sekolah dulu, sedang mematut-matut tubuhnya di hamparan air danau yang jernih. Tidak lagi konsentrasi terhadap jalan di depannya, kaki kanan Mark tanpa sengaja menabrak sebuah batu yang cukup besar.
Mark oleng. Ia terjungkal dan menggelinding ke sisi kiri bukit sebelum akhirnya mencapai garis finish barunya di sebuah kubangan tepat di samping Elena yang melongo melihat adegan akrobat gratis.
Sejurus kemudian, Elena tertawa terbahak-bahak. Tanpa mempedulikan Mark yang kesakitan setelah terguling-guling di bukit berbatu. Tanpa mempedulikan wajah Mark yang merah padam. Tanpa mempedulikan kacamata hitam Mark yang patah. Tanpa mempedulikan perasaan Mark yang bingung antara menahan sakit dengan menahan malu.
Saat ia mencoba untuk berdiri (dengan diiringi tawa Elena yang masih berkesinambungan), terdengar sorak sorai warga hutan. Rupanya Mambo telah tiba di garis akhir. Agak terengah-engah, tapi setidaknya ia sampai ke tujuan dengan berlari, bukan dengan menggelinding.
Dari kejauhan, ia menatap Mark (yang masih mencoba berdiri) dan Elena (yang masih terus tertawa). Mambo juga suka pada Elena dan ia mungkin akan melakukan kesalahan yang sama seperti Mark seandainya ia tidak menggunakan kacamata kudanya. Ya, kacamata itulah yang membantunya untuk tetap berkonsentrasi sepanjang lomba.
Mambo mengangkat kaki kanannya, ingin berjalan ke arah Mark. Tapi kawan-kawan dan penghuni hutan lainnya mulai mengerubunginya, sibuk memberinya selamat dan memintanya bercerita tentang perasaannya. Akhirnya Mambo pun membatalkan niatnya untuk membantu Mark. “Semoga ia baik-baik saja”, gumamnya.

Kesimpulan Cerita Kuda Berkacamata Hitam

Setiap orang mungkin membutuhkan kacamata kuda agar tetap fokus dengan apa yang harus dikerjakannya.

SANG KUDA



Sekali dalam seminggu aku tampak menatapi tingkah seekor kuda yang berlari-lari tak jauh dari hadapanku. Sang kuda begitu ceria. Sesekali, kuda menggoyangkan kepalanya seperti sedang berdendang riang. Aku pun mengubah wajah cemberutku dengan bersuara ke arah kuda.  

“Kamu begitu bahagia, kuda?”, tanyaku dengan nada suara kecil. Padahal, mana mungkin seekor kuda dapat menjawab apa yang aku pertanyakan. Aku berpikir, sang kuda harus selalu bekerja untuk membantu pemiliknya dalam mencari nafkah, tapi sang kuda tidak pernah meggambarkan kelelahan yang sang kuda alami. Kota Palu sendiri merupakan kota yang terdapat di provinsi Sulawesi yang merupakan ibu kota dari Sulawesi Tengah yang masyarakatnya masih banyak bergantung pada sang kuda mulai dari menggunakannya sebagai kendaraan tradisional "Dokar", mengangkut hasil sawah, untuk di konsumsi dan lain - lain. Hampir setiap hari minggu di saat waktu libur aku sering melihat sang kuda selalu bermain ditepian pantai gawalise (salah satu pantai wisata yang terdapat di kota palu) berlari dan berkumpul bersama kuda-kuda lainnya, sambil mengeluarkan suara atau hanya berdiam sambil menikmati sejuknya lautan Teluk Palu di saat terbenamnya matahari dan aku kembali bertanya pada diriku sendiri "apakah hari ini (Minggu) adalah hari dimana sang kuda beristirahat ?". Terkadang aku berpikir dan bertanya pada diriku sendiri apakah sang kuda tidak pernah merasakan arti dari sebuah kelelahan atau mungkin tidak dapat menggambarkan apa yang sedang sang kuda rasakan. Mungkin, sang kuda sudah melupakan kelelahannya karena telah berkumpul dan beristirahat bersama kawanan kuda lainnya.


Dari situlah, sikap yang muncul yang dapat aku gambarkan saat ini seperti yang diungkapkan sang kuda, "Aku merasa bahagia karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Bukan, apa yang bisa kudapatkan dan aku rasakan". Dari pengalaman itulah aku selalu berusaha untuk menggali makna dari sesuatu hal kecil atau mungkin sesuatu hal besar yang sedang terjadi disekitarku.

Senin, 20 Mei 2013

Menulis. Suka-Suka Saya

Mengapa saya menulis? pertanyaan yang menarik, apa alasan saya sebenarnya hingga tertarik untuk menulis. Hmmmm, setelah saya pikir-pikir tidak ada alasan khusus mengapa saya menulis. Dipikirkan sedalam apapun, saya hanya bisa sampai pada kesimpulan kalau saya menulis karena alasan yang sangat sederhana. Se-sederhana keinginan saya menjalani hidup yang apa adanya. Saya menulis, sekedar mengumpulkan serpihan-serpihan ide agar meletup dan tidak kadaluarsa. Rasa-rasanya tidak rela membiarkan parade ide berlalu begitu saja, pun berakhir di tempat sampah. Yah, karena ide adalah mukjizat. Yang karenanya manusia bisa merasakan hidup yang lebih bergairah bahkan bersemangat sepanjang hari. Bukankah hidup penuh semangat adalah hal yang paling menyenangkan. Coba bayangkan, membuat adrenalin terpacu sepanjang hari, berkompromi dengan motorik kepuasan, beh.., siapa yang tidak menginginkan itu. Dan lagi, dunia terlalu luas di hati saya untuk dibiarkan begitu saja. (Awuooo.. gaya bahasanya mulai Melenceng..).

Ada penulis, tentunya ada pembaca.. 
Lalu untuk siapa saya menulis??
Jawabannya singkat, bukan untuk siapa-siapa. Untuk saya yang liberal, menulis adalah kesenangan dan tidak boleh ada sesuatupun yang membuat saya berada di bawah tendensi saat menulis. Kepala saya terlalu berharga untuk diperbudak oleh tanggapan dan keinginan di luar sana. 
Saya tidak tahu banyak tentang dunia tulis - menulis. Semacam sihir, mendatangi begitu saja, suka begitu saja lalu menulis begitu saja. Mengakrabi tanpa punya pengetahuan khusus tentang itu. Mungkin ini alasan, mengapa tulisan saya tidak pernah benar-benar terkotak dengan jelas, atau lahir dengan jenis kelamin yang pasti, selalu ada heterogensi, selaput semi permiabel, tak pernah terklasifikasi. Yah, ide itu alien, aneh bin ajaib. Persis sebutan sahabat-sahabat pada diri pribadi saya yang sangat menyimpang. Woakakakaka... Dari tadi saya tulis apaan yaa...

Tentang Pembaca
Okelah, dalam ranah egoisitas, menulis memang berefek ganda. Memuaskan penulis atau memuaskan pembacanya. (Saya tidak sedang berbicara ranah abu-abu untuk memuaskan penulis dan pembaca di saat yang bersamaan). Tulisan bagi pembaca ada dua, yang menikmati alur ceritanya atau yang menikmati alur berpikir penulis. Dan kebetulan, untuk hal ini, saya termasuk jenis kedua. Jenis yang selalu kasmaran dengan alur berpikir penulis yang juga berarti termasuk penulis yang menikmati alur berpikirnya sendiri.
Yapz, pembaca tetap penikmat, itu harga paten tidak ada nisbi. Tugas penulis membahasakan imaji. Nah, disini poin pentingnya. Saat penulis mempertimbangkan pembaca, itu berarti ia sudah berdamai dan teken kontrak untuk tidak akan bebas meng-explore isi kepalanya. Saya?? Tentu saja tidak rela. Harapan saya, dunia yang begitu luas di hati saya (agak sedik Lebhayy Sih… ^^) harus bebas lepas. Memuaskan pikiran dan menjadikan setiap centi kata dalam tulisan menjadi asset berharga alam bawah sadar, atau bahkan menjadikannya investasi berharga bagi dunia sastra. Wow…, saya bermimpi beudh tentang ini. :D


Last but not a least..
Yaaah, saya menulis. Dengan keterbatasan ilmu dan pemahaman. Sayangnya, saya menggolongkan ini sebagai keterbatasan yang termaklumi. Karena kenapa? Karena saya penulis yang serba santai dan tidak menganut apapun dalam menulis, artinya mengalir begitu saja.. :D

Catatan Si Angga

Assalamualaikum Wr. Wb


Hai apa kabar blogger, kenalin nama saya Aru Rangga Raenaldy biasa di panggil Angga, saya seorang mahasiswa semester akhir yang masih aktif berkuliah di Universitas Tadulako Palu. Hobi saya adalah memasak, menulis, membaca dan juga bernyanyi dan itu adalah hobi terbesar saya. saya anak pertama dari 3 bersaudara dan semuanya adalah para pejuang atau laki-laki, saya hidup dengan seaorang ibu atau single parent yang kuat dan tangguh serta membanggakan bagi anak-anaknya walaupun agak menyebalkan sih. Mungkin untuk sebuah profil cukup segitu ya tidak perlu panjang-panjang. 

Saya anaknya cukup cerewet dan hyper aktif karena kenapa?? karena begitulah keseharian pribadi saya walaupun terkadang agak sedik berlebihan atau ALAY kalau orang jaman sekarang bilang. Sahabat, keluarga dan orang terdekat saya mungkin banyak sih yang menganggap kalau saya orangnya selalu happy dan fun, sehingga banyak menyangka saya tidak banyak memiliki masalah dalam kehidupan. akan tetapi semua itu tidaklah seperti yang banyak orang bayangkan, saya adalah orang yang paling tidak menyukai suatu problem hidup saya menjadi barang asumsian atau berbagi kepada orang lain, cukup hanya saya dan tuhanlah yang mengetahuinya kalau kata ramalan sih tipe-tipenya orang yang tertutup. bagi saya motto dalam kehidupanku adalah " biarlah kebahagiaanku yang kalian nikmati janganlah kesusahan dan masalahku yang menjadi beban kalian " saya ingin tetap menjadi seseorang yang mungkin dapat membahagiakan orang lain walaupun kehidupanku sendiri sulit karena berbagi kebahagiaan adalah suatu pahala besar untuk kita, kata pak ustad sih.

Dalam bergaul saya termasuk salah satu orang yang bisa dibilang gaul sih, teman-teman saya lumayan banyak dan membludak walaupun semuanya mungkin tidak mengakui saya temannya juga hahaha.. Dalam hidup itu is enjoy walau terkadang mampu membuat malas, saya sebenarnya orang yang paling tidak menyukai permusuhan dalam persahabatan atau pertemanan karena menurut saya sih itu bulsyettt belaka. Saya orang lebih menyukai pertemanan dan perkenalan terhadap orang lain dan seseorang yang mungkin baru saya kenal, terbukti dengan banyaknya geng-geng yang saya bentuk di saat bersahabat dengan sahabat-sahabat terbaikku bukan geng motor yaaa... misalnya : ANJESORIES grup, CETAR MEMBAHANA grup, dan lain-lain.. anehkan??!! -,-" hahahah

Mungkin untuk hari ini cukup sekian dulu catatan sih Angga, mungkin sebentar, besok, minggu depan, bulan depan akan dilanjutkan lagi catatan saya see you next time yaaaa...


Senin, 13 Mei 2013

Makanan Khas Kota Palu Berprotein "Kaledo"

Seperti daerah lainnya di Indonesia, Palu juga memiliki banyak makanan tradisional. Makanan tradisional yang paling digemari di Palu adalah Kaledo. Makanan ini sejenis sup yang berisi tulang sapi yang dicampur dengan asam dan cabai. Kita bisa menjumpai makanan ini di beberapa restoran di Palu.
Orang Palu pada umumnya masih menyajikan makanan tradisional sebagai makanan sehari-hari. Namun, hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak tertarik dengan makanan modern dengan berbagai rasa. Seperti yang bisa kita lihat, banyak restoran di Palu yang menyajikan berbagai makanan internasional. Restoran cepat saji juga tersedia di Palu.
Kaledo terbuat dari tulang kaki lembu dan dagingnya, dicampur asam Jawa mentah, dengan bumbu cabe rawit, garam dan jeruk nipis. Setelah masak Kaledo seperti sup dengan kaki lembu dan sedikit daging. Jika kurang pedas, kita bisa menambahnya dengan sambal cabe rawit. Agar terasa wangi, bolehlah ditambahkan bawang goreng.



Jangan mengaku pernah menginjakkan kaki di Sulawesi Tengah, khususnya Kota Palu, jika Anda belum mencicipi kaledo. Masakan khas Sulawesi Tengah ini termasuk jenis masakan berkuah bening agak kekuning-kuningan dengan rasa yang sangat khas, yakni asem gurih dan pedas. Pada awalnya, masakan ini hanya berbahan baku tulang kaki sapi dengan sedikit dagingnya. Namun, karena penjual kaledo semakin banyak, sehingga tulang kaki sapi semakin sulit didapatkan. Untuk menggantikan tulang kaki tersebut, maka tulang belakang sapi pun disertakan sebagai tambahan bahan utama.
Tidak ada catatan resmi mengenai asal-usul makanan ini. Menurut cerita, konon di wilayah Sulawesi Tengah, ada seorang dermawan yang memotong sapi dan membagi-membagikannya kepada penduduk sekitar. Orang Jawa yang pertama datang mendapat daging sapi yang empuk dan kemudian dibuat bakso. Orang Makassar yang datang berikutnya mendapat bagian jeroan (isi perut), kemudian dimasak coto Makassar. Sementara orang Kaili (suku asli Donggala) yang datang belakangan hanya memperoleh tulang-tulang kaki. Oleh karena tidak ingin mengecewakan keluarganya yang menunggu di rumah, maka tulang-tulang dengan sedikit daging yang masih menempel pun dibawanya pulang ke rumah sebagai obat kecewa. Tulang-tulang tersebut kemudian mereka masak dan jadilah kaledo.
Kaledo banyak dihidangkan oleh masyarakat Sulawesi Tengah pada saat hari lebaran (Idul Fitri maupun Idul Adha) yang disajikan dengan burasa (beras diberi air santan dan dibungkus daun pisang, lalu direbus). Selain itu, makanan khas ini juga sangat cocok disantap bersama nasih putih, singkong atau jagung rebus. Bagi yang mengidap tekanan darah tinggi dan asam urat, sebaiknya lebih berhati-hati. Jangan sampai makan kaledo melebihi porsi yang semestinya.
  • Keistimewaan
Kekhasan kaledo ini terletak pada penggunaan bumbu asam Jawa. Asam Jawa yang digunakan adalah asam yang betul-betul masih muda. Untuk memperoleh konsentrat asam, kulit asam muda digerus bersama dagingnya. Jika menggunakan asam yang sudah tua, kuah kaledo tersebut akan berwarna kuning dan rasanya cenderung lebih manis.
Selain itu, masakan kaledo ini menjadi khas, karena bumbu pelengkapnya, seperti: bawang goreng khas Palu (renyah, tidak mudah lembek, dan tahan lama), sambal, dan jeruk nipis. Bagi mereka yang suka pedas, dapat menambahkan sambal yang sudah ditumbuk kasar. Sedangkan bagi yang suka kecut, dapat menambahkan perasan jeruk nipis.
Kaledo terbuat dari tulang kaki lembu dan dagingnya, dicampur asam Jawa mentah, dengan bumbu cabe rawit, garam dan jeruk nipis. Setelah masak Kaledo seperti sup dengan kaki lembu dan sedikit daging. Jika kurang pedas, kita bisa menambahnya dengan sambal cabe rawit. Agar terasa wangi, bolehlah ditambahkan bawang goreng.
Sebenarnya, yang menarik dari makanan ini, yaitu pada cara makannya. Daging yang menempel di tulang dan sumsum yang terdapat di dalam rongga tulang tersebut sangat lezat untuk dinikmati. Oleh karena itu, Anda jangan terkejut dan heran ketika melihat cara penyajian masakan yang satu ini. Biasanya disediakan garpu, pisau, sumpit ataupun pipet, yang berfungsi untuk mengeluarkan sumsum dari rongga-rongga tulang sapi tersebut.



  • Lokasi

Makanan khas Palu ini merupakan menu utama warung-warung makan di Sulawesi Tengah. Ada beberapa warung makan yang khusus menyajikan makanan ini, seperti warung makan yang berlokasi di ruas Jalan Diponegoro, Kota Palu; di Dupa Indah; di depan pintu masuk Wisata Pantai Tumbelaka (3 km dari Kota Palu); dan di depan Masjid Baabus Salaam, Loliege, Jl. Raya Palu – Donggala (3 km dari Kota Palu). Selain di Kota Palu dan Donggala, makanan ini juga dapat dinikmati di warung-warung makan di Kabupaten Poso. Untuk menjangaku warung-warung tersebut, para wisatawan dapat menumpang angkutan kota berupa bus kota, taksi dan ojek.

Minggu, 28 April 2013

PUISI PENDIDIKAN

SAJAK/PUISI PENDIDIKAN KARYA ARU RANGGA RAENALDY
Do’a dan Harapku
Karya : Aru Rangga Raenaldy

Fajar pagi tampak layuh
Sinarnya tak tampak
Jangan kau melihat itu
Bagiku itu palsu
Ku hanya ingin semangatmu
Bukan ingin egomu
Langkahkan kakimu anak didikku
Cepat dan semakin cepat
Sekali jangan buat lambat
Beribu – ribu kata akan tersendat
Besar sungguh harapku
Pada anak berpacu dengan waktu
Do’a ku selalu iringi langkahmu


Baca Tulis
Karya : Aru Rangga Raenaldy

Senja meradang kerinduan
Goresan pena menyayat kalbu
Tangisanku tak membuat pilu
Hei .. wahai pemimpinku
Pandanglah aku yang kusut ini
Duduk di sekolah ku tak bisa
Bagaimana ku tak bisa bodoh ?
Hiduppun beralas tanah
Tidurpun beratap langit
Ahhh,....
Bosan ku tak dapat membaca
Bingung ku tak dapat menulis
Seandainya ada pemimpin menangis
Pasti ku dapat baca tulis



Lilin Kegelapan
Karya : Aru Rangga Raenaldy

Titik air menitik
Berbaris jarum jam berdetik
Tak henti dalam putaran waktu
Menembus masuk roda itu
              Menjadi pilar generasi penerus
              Bermuara menjelma sebagai arus
              Berbaris ditengah tangisan pertiwi
              Tak buat henti langkahkan kaki
              Baktiku hanya tuk negeri ini
              Ku akan jadi lilin ditengah kegelapan
              Melawan segala kemunafikan
              Semangatku bagai pejuang 45’
              Penerus cita – cita pahlawan kita
Wahai sang guruku
Tuntunlah aku menjadi aku
Jasamu tak tampak mata
Berwujud dalam hati sanubari
              Titik air menitik
              Ilmu mu kan ku petik
              Bukan buat negara munafik