KEJUTAN DI BULAN PENUH RAHMAT
“Alhamdulillah, sedikit lagi. Aku
harus bisa pulang tahun ini!” Tekad Angga menyemangati dirinya sambil
menghitung uang tabungannya yang ia simpan di lembaran-lembaran buku miliknya.
Memang sudah tiga kali lebaran ini Angga tidak pulang kampung. Ia tidak
mempunyai ongkos yang cukup untuk pulang ke kampung halamannya. Uang yang ia
kumpulkan dari pekerjaannya sebagai penjual buah-buahan keliling hanya cukup
untuk mengirimi uang untuk keperluan Ramadhan untuk istri dan dua orang anaknya.
Angga seorang perantau asal Jawa Tengah,
ia mengadu nasibnya di Jakarta untuk penghidupan yang lebih baik dengan menjadi
seorang pedagang buah-buahan keliling. Ia sangat bersahaja dan merupakan hamba
ALLAH yang tak kenal lelah dalam segala hal. Termasuk tak kenal lelah dalam
mencari nafkah untuk keluarganya. Ia seorang yang bertanggung jawab atas
keluarganya. Walaupun istri dan anak-anaknya tinggal di kampung. Namun Angga
tidak pernah putus mengirimi uang hasil keringat yang ia peroleh untuk biaya hidup
istri dan kedua anaknya setiap bulan. Angga tinggal di sepetak kontrakkan yang
berada dekat rel kereta. Kontrakkan itu hanya cukup untuk tidur dan menaruh
baju-baju serta bahan makanan yang ia perlukan.
Seperti di bulan Ramadhan sebelumnya,
selepas santap sahur Angga mempersiapkan peralatan dan perlengkapan jualannya
termasuk buah-buahan yang akan ia jajakan. Tak hanya itu, sepeda ontelnya pun
ia bersihkan dan ia memompa sedikit bannya agar lebih ringan saat dikayuh
nanti. Selepas shalat shubuh, Angga bergegas dengan semangat, berangkat menuju
stasiun jatinegara. Karena ia mendapat jatah berjualan di sana saat pagi hari. Angga
terus mengayuh sepedanya menuju stasiun melewati persimpangan lampu merah. Dari
arah yang berlawanan, melaju dengan cukup cepat sepeda motor berwarna merah.
Lampu hijau menyala. Angga pun kembali mengayuh sepedanya menuju stasiun. Lampu
merah telah menyala di jalur dimana sepeda motor itu melintas. Namun motor itu
tidak menggubris lampu merah yang telah menyala malah terus menerabas dengan
kecepatan tinggi.
“Braaaaaaaaak!” Suara yang sangat
keras terdengar.
Seseorang terserempet sepeda motor
yang melaju kencang. Sementara yang menyerempetnya berlalu dengan cepat
mengendarai sepeda motornya.
“Toloong, toloong…” Sebuah rintihan
serak terdengar beberapa saat setelah motor itu melesat dengan cepat.
Di tempat kejadian itu berserakan
buah-buahan yang hampir semuanya telah hancur. Selain itu keranjang rotan telah
menjauh dari jok motor yang menjadi sanggahannya semula. Ya, orang itu adalah Angga.
Kakinya terjepit salah satu keranjang rotan yang masih berisi setengah
buah-buahan dagangannya. Ia terus mencoba berteriak untuk meminta pertolongan.
Berharap ada orang yang mau menolongnya. Tapi sialnya sepagi itu belum banyak
orang yang melintasi jalan tersebut. Ia tergeletak dengan kaki terjepit di
aspal basah karena tetesan embun yang membahasi jalan itu. Sambil memegangi
kakinya yang terluka Angga mencoba bangkit. Namun, ia selalu terjatuh lagi saat
mencoba bangkit.
“Tolong…, toloooong” Ia mencoba
teriak dengan suaranya yang nyaris hilang.
Tak seberapa jauh dari tempat Angga
terkapar. Seorang laki-laki berlari menghampirinya. Terlihat raut wajah Angga
yang menunjukkan sedikit senang karena ada orang yang mendengar teriakan minta
tolongnya.Setelah sampai, lelaki itu memegang stang sepeda Angga dan
mengangkatnya. Namun, setelah dia mengangkat sepedanya bahu Angga dipegangnya
dan dengan mengejutkan ia mendorong bahu Angga hingga Angga makin terjerembab
ke aspal. Setelah melihat Angga tersungkur di aspal. Laki-laki itu pergi dengan
mengayuh sepeda Angga. Pergi menjauh dari Angga.
“Astagfirullah!” Angga beristighfar
dengan suara serak.
Angga sangat tidak menyangka bahwa
orang yang semula ia sangka akan menolongnya. Malahan, orang itu mencuri
sepedanya. Kini Angga merasakan badannya lebih sakit karena tersungkur dengan
ke aspal karena dorongan keras si pencuri itu. Jangankan untuk berdiri, untuk
mengangkat kepalanya saja dari aspal Angga tidak mampu. Yang ia harapkan
hanyalah ada seseorang yang datang menghampiri dengan hati tulus untuk menolong
dirinya. Bukan untuk mencuri sepeda atau sikap apapun yang dapat merugikannya. Tiba-tiba
terlihat lampu motor yang menyala terang dari arah belakang Angga.
Terlihat oleh Angga, dua orang polisi menghampiri Angga dengan terkejut.
“Bapak kenapa?” Tanya salah seorang
polisi itu sambil memegang kedua tangan Udin dan mencoba membangunkannya.
“Saya kecelakaan.” Dengan suara pelan
dan setengah serak Angga menjawab pertanyaan polisi.
Angga berhasil bangun dan berdiri. Ia
dibopong oleh kedua polisi menuju trotoar. Angga didudukan tepat di trotoar
samping lampu merah. Sambil meringis kesakitan ia memegangi kakinya yang
terluka. Polisi itu mulai menanyakan perihal kejadian yang telah menimpa Angga.
Ia menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan oleh polisi tersebut dengan
mengeluarkan suara pelan dan serak. Termasuk kejadian pencurian sepedanya.
“Allahu akbar…. Allahu akbar… Allahu
akbar… Laa ilahaillahu Allahu Akbar…. Allahu akbar wa lillahilham…” Gema takbir
menggema membesarkan namaNya. Meng-agungkan namaNya yang maha agung. Serta
mengesakanNya yang maha tunggal.
Setelah sebulan penuh menunaikan
perintah puasa Ramadhan. Datanglah sebuah hari yang sangat dinantikan. Sebuah
hari yang mengembalikan manusia kepada fitrohnya. Semua hambaNya bersuka cita
dan berbahagia menyambut hari nan fitri yang datang esok. Ya, semua larut dalam
kegembiraan menyambut Idul Fitri. Kecuali Angga. Kini ia hanya duduk termenung
di atas kasur lipatnya yang ia letakkan di atas ubin kontrakkanya. Walau tidak
deras, air mata menetes dari matanya. Membasahi tangannya yang ia pakai untuk
menopang wajah tirusnya.
“Maafkan Bapak, Nak!” Sambil mengusap
air matanya, Angga terbekap dalam kesedihan yang dalam.
Gema takbir membawanya kedalam bayang
kebahagiaan. Ia dapat melihat tawa kedua anaknya yang menyambut kedatangannya.
Ia memeluk keduanya dengan penuh rasa sayang yang tertimbun selama tiga tahun
ini. Istrinya yang ada di belakang kedua anaknya pun juga memeluknya erat.
“Assalamu’alaikum, Ngga” Salam itu
membawa Angga kembali ke dunia nyata.
“Waalaikumsalam…” Angga menjawab
salam.
Angga bangun untuk membuka pintu dan
bergegas mengusap air matanya. Ia khawatir kalau-kalau orang tahu bahwa ia
sedang menangis.
“Jadi nitip uang buat ke kampung, Ngga?”
Tanya Iwan sambil memasuki rumah kontrakkan Angga.
“Jadi Wan. iki wis ta siapin.” Angga
menimpali pertanyaan Iwan dengan logat jawanya.
“Titip pesen karo istriku ya Wan. Aku
ra isa mulih disek tahun iki.” Pesan Angga sambil memberikan dua buah amplop
yang isinya berisi surat dan uang untuk dititipkan kepada istrinya di kampung.
“Iya pasti ta sampaikan, Ngga. Wis
tenang bae lah!” Jawab Iwan, menenangkan temannya. Iwan berpamitan dan kemudian
pergi berlalu menuju terminal.
Tahun ini harapan Angga belum bisa
terwujud. Uang yang rencananya dipakai untuk ongkos perjalanannya ke kampung
pulang-pergi telah terpakai untuk biaya pengobatannya akibat kecelakaan yang
dialaminya beberapa waktu lalu. Ditambah setelah kecelakaan itu ia harus
memeriksakan dirinya secara rutin ke puskesmas dan beristirahat selama satu
minggu untuk tidak berjualan. Praktis selama seminggu Angga tidak mendapatkan
penghasilan. Malah uang simpanannya yang ia simpan di lembaran buku terpakai
untuk biaya periksa rutinnya. Akan tetapi, Angga tetap merasa bersyukur bahwa
ia masih bisa mengirimkan uang untuk istri dan anak-anaknya di kampung. Ia juga
tetap berhusnudzan kepada ALLAH atas musibah yang dihadapinya. Dan berpikir
pasti ada hikmah dibalik musibah ini.
Bulan suci ramdhan pun akan segera
tiba. Tapi Angga belum juga dapat kembali ke kampung halamannya Angga hanya
mampu untuk menyambut bulan yang penuh berkah ini dengan beristirahat di rumah
kontrakannya. Angga kembali membayangkan senyum istri dan anak-anaknya di
kampung. Ia merasa senang bisa melihat senyum dan tawa istri serta kedua
anaknya jika bisa bersama di bulan yang suci ini. Tanpa disadarinya Angga pun
tertidur pulas.
“Tok.. tok.. tok..” Pintu rumah
kontrakkan Angga di ketuk.
Angga terbangun mendengar bunyi
ketukan itu. Ia berdiri perlahan menuju pintu untuk membukanya. Matanya masih
layu. Tak heran karena ia telah tidur selama 4 jam lebih. Bayang-bayang tentang
keceriaan istri dan kedua anaknya-lah yang menjadikan ia bisa terlelap selama
itu dalam kondisi tubuh yang lapar. Deritan pintu terdengar saat Angga membuka
pintu. Alangkah terkejutnya ia pada saat pintu terbuka sedikit demi sedikit, ia
melihat bayangan istri dan kedua anaknya di depan pintu. Ia mengucek-ngucek
kedua matanya. Khawatir ia sedang bermimpi.
“Assalamualaikum, Bapaaaaak!” Teriak anak
sulungnya sambil memeluk kedua kakinya. Hal itu meyakinkan Angga bahwa kejadian
ini bukan hanya sebatas mimpi saja. Karena ia bisa merasakan agak sakit di kaki
bekas kecelakaan saat anak sulungya mendekap erat kakinya.
“Bagaimana kalian bisa sampai ke
Jakarta?” Tanya Angga penuh keheranan.
“Dari setiap uang bulanan yang Bapak
kirimkan ke kampung, sebagian oleh Ibu disisihkan untuk ongkos ke Jakarta, Pak.
Ibu ingin memberikan kejutan untuk Bapak.” Anak sulungnya menjawab
pertanyaannya tanpa ragu. Angga berlutut dan menciumi kedua anaknya dengan
penuh rasa haru. Istri Angga pun memeluknya sambil meneteskan air mata.
“Allahu akbar…! Terima kasih yaa
ALLAH, engkau telah menjawab doa-doa ku. Dan terima kasih juga untuk Kejutan di
bulan yang penuh rahmat ini.”